Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Berbasis Tenurial

   Land tenure seringkali disamakan dengan property rights, padahal secara esensi keduanya memiliki arti yang berbeda. Property rights merujuk pada seperangkat hak yang mengarahkan pemanfaatan, pengelolaan, dan pengalihan atau transfer aset.

Sementara land tenure adalah seperangkat kelembagaan dan kebijakan yang menentukan secara lokal bagaimana lahan dan sumberdaya dapat diakses, siapa yang memegang hak dan menggunakan ataupun memanfaatkan sumberdaya tersebut, untuk berapa lama dan dibawah kondisi seperti apa.

Penguasaan lahan dapat diartikan dalam dua bagian, yaitu penguasaan dan kepemilikan. Penguasaan dapat dilakukan berbagai pihak, baik individu, kelompok, pemerintah, ataupun swasta. Aspek penguasaan tersebut mengatur bentuk-bentuk hak. Penguasaan atas tanah di Indonesia mencakup tiga hak, yaitu hak ulayat (dipegang oleh masyarakat adat yang memiliki pola kepemilikan komunal), hak perseorangan, dan badan hukum.

Dalam konteks tenurial kehutanan, berbagai bentuk kepemilikan lahan hutan dapat ditemui, termasuk kepemilikan oleh negara, masyarakat adat, lembaga swasta, dan individu. Regulasi dan kebijakan juga sangat memengaruhi bagaimana lahan hutan dikelola, seperti peraturan tentang penebangan kayu, konversi lahan hutan, dan konservasi.

Konflik sering timbul dalam hal kepemilikan dan penggunaan lahan hutan. Misalnya, konflik bisa muncul antara masyarakat lokal yang bergantung pada hutan untuk kehidupan mereka dan industri kayu yang ingin mengakses sumber daya hutan untuk keuntungan ekonomi.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan telah menjadi fokus penting dalam bidang tenurial kehutanan. Skema seperti hutan desa atau hutan adat memberikan hak kepemilikan dan pengelolaan kepada masyarakat lokal, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan

Berdasarkan sejarah penguasaan tanahnya, tipologi desa/kampung hutan dapat dibedakan menjadi:

  • Desa/kampung yang telah ada di dalam kawasan hutan sebelum penunjukkan kawasan, terbentuk karena kebijakan pemerintah kolonial/nasional atau secara tradisional
  • Desa/kampung yang ada setelah penunjukan/penetapan kawasan hutan
  • Desa/Kampung yang ada sebelum perubahan fungsi kawasan/perluasan penunjukkan kawasan
  • Desa/kampung yang ada setelah perubahan fungsi kawasan/perluasan kawasan hutan

Berdasarkan lokasi dan aksesnya terhadap kawasan hutan, tipologi desa/kampung hutan dibedakan menjadi:

  • Desa/kampung yang seluruh wilayah pemukiman dan wilayah kelola berada dalam kawasan hutan/areal izin kehutanan
  • Desa/kampung yang sebagian wilayah pemukiman dan seluruh wilayah kelola berada di dalam kawasan hutan/areal izin kehutanan
  • Desa/kampung yang seluruh wilayah pemukiman ada di tepi/sekitar kawasan hutan, tetapi seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin kehutanan.

Komunitas di desa/kampung hutan terbagi menjadi:

  • Komunitas lingkungan hutan atau sekelompok orang yang hidup di dalam atau daerah sekitar hutan serta memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan untuk waktu yang lama dan memiliki kesadaran bersama sebagai suatu kelompok. Komunitas ini bisa berupa masyarakat hukum adat tetapi tidak selalu.
  • Pemukim atau pengguna hutan merupakan individu yang berada di dalam atau sekitar area hutan dengan memanfaatkan hutan pada periode yang pendek tanpa membangung norma atau kesadaran bersama seperti halnya yang terjadi pada komunitas di lingkungan hutan. Motivasi utamanya biasanya karena kepentingan ekonomi.

Terdapat beberapa tipologi masyarakat berdasarkan cara mereka mengklaim suatu kawasan hutan:

1. Klaim berdasarkan kesejarahan dan identitas kebudayaan

Klaim tenurial kehutanan berdasarkan identitas kebudayaan mencakup klaim yang didasarkan pada tradisi, budaya, dan identitas kelompok masyarakat tertentu. Hal ini sering kali terkait dengan klaim masyarakat adat dan kelompok-kelompok yang memiliki hubungan historis yang dalam dengan kawasan hutan.

2. Klaim berdasarkan penguasaan fisik

Klaim tenurial kehutanan berdasarkan penggunaan fisik mengacu pada hak kepemilikan atau pengelolaan lahan hutan yang didasarkan pada aktivitas fisik yang dilakukan di atas lahan tersebut. Ini bisa mencakup berbagai bentuk penggunaan, seperti pertanian, perikanan, pengumpulan hasil hutan non-kayu, atau industri kayu.

3. Klaim berdasarkan perizinan pemerintah

Klaim tenurial kehutanan berdasarkan perizinan pemerintah merujuk pada hak kepemilikan atau pengelolaan lahan hutan yang diberikan oleh pemerintah melalui berbagai jenis izin atau kontrak. Ini sering kali melibatkan peraturan dan prosedur yang diatur oleh pemerintah untuk memberikan izin kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan aktivitas tertentu di kawasan hutan.

4. Klaim berdasarkan kebijakan migrasi pemerintah kolonial dan nasional

Klaim tenurial kehutanan berdasarkan kebijakan migrasi pemerintah kolonial dan nasional mengacu pada pengaturan dan kebijakan yang mengatur pemukiman dan penggunaan lahan hutan oleh populasi yang bermigrasi, baik pada masa kolonial maupun setelah kemerdekaan nasional. Kebijakan migrasi ini sering kali memiliki dampak yang signifikan terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat dan klaim mereka terhadap kawasan hutan.

5. Klaim berdasarkan kemitraan dengan perusahaan

Klaim tenurial kehutanan berdasarkan kemitraan dengan perusahaan merujuk pada situasi di mana masyarakat lokal, masyarakat adat, atau kelompok masyarakat lainnya membentuk kemitraan dengan perusahaan swasta untuk mengelola atau memanfaatkan kawasan hutan. Kemitraan semacam ini bisa mencakup berbagai bentuk, seperti kemitraan untuk pertanian berkelanjutan, pengelolaan hutan lestari, atau proyek penanaman hutan bersama.

6. Klaim berdasarkan perlindungan politik dari elit-elit lokal

Klaim tenurial kehutanan berdasarkan perlindungan politik dari elit-elit lokal merujuk pada situasi di mana elit-elit politik atau penguasa lokal memberikan perlindungan atau dukungan kepada pihak tertentu untuk mengklaim atau mengelola kawasan hutan. Hal ini sering kali terjadi dalam konteks nepotisme, korupsi, atau koneksi politik yang memungkinkan pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan hak kepemilikan atau izin secara tidak adil.


Tenurial menjadi aspek yang penting dalam proses perencanaan hutan, hal ini dikarenakan pengelolaan hutan yang baik harus mempertimbangkan kejelasan tenurial kawasan hutan atau hak kelola masyarakat terhadap hutan.

Perencaranaan berbasis tenurial yang kuat harus dibaca dalam perspektif sebagai ruang negosiasi dengan berbagai kelompok kepentingan terlebih bila kondisi faktual di lapangan tumpang tindih yang melibatkan berbagai aktor atau kelompok kepentingan.

Berikut merupakan langkah yang dapat dilakukan dalam upaya perencanaan hutan berbasis tenurial (secara teknis):

  1. Identifikasi lokasi untuk melihat apakah ada overlapping dengan kepentingan pihak lain di sekitarnya.
  2. Identifikasi desa yang berdekatan dengan area jika ada.
  3. Pemetaan tipologi desa berdasarkan kodisi sosial, ekonomi, dan politik lokal, bersamaan dengan aktor dan kepentingannya
  4. Identifikasi luas, sistem, struktur penguasaan lahan masyarakat, ketahui sejarah penguasaan dan status lahan serta aktor atau jaringan yang menguasai lahan tersebut.
  5. Kelompokkan lahan berdasarkan status dan sejarah penguasaannya.
  6. Melakukan dialog dengan desa yang melibatkan seluruh warga.
  7. Menggunakan media atau forum dalam proses dialog guna menampung seluruh aspirasi dan kepentingan warga.
  8. Memetakan lahan masyarakat secara partisipatif guna memperjelas tenurial.
  9. Menawarkan skema yang ada (hutan adat, HTI, hutan desa, Hkm) berdasarkan karakteristik status dan penguasaan hutan yang ada.
  10. Mengembangkan inovasi atau membangun skema baru yang sesuai dengan kepentingan dari pihak-pihak yang bersangkutan.

 

Yhnataliaar

Hallo, Saya Yohana Natalia selaku author blog ini. Semoga blog ini menjadi wadah bagi pembaca untuk mencari informasi. Hope you enjoy it.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama